By Iskandar F
Gelapnya malam ini terasa membuat bulu kuduk merinding, apalagi dengan ditemani derasnya hujan yang turun. Betapa dingin dan gelapnya malam itupun tetap tak akan menghentikan niat para petugas polisi untuk melakukan tugasnya sekarang; sebuah kasus dimana sesosok mayat ditemukan dalam ruang yang terkunci rapat.
Lampu merah biru berkelap-kelip diiringi guyuran hujan deras, mobil polisi, ambulan dan kendaraan lain yang tidak berkepentingan pun ikut terparkir di luar rumah TKP tersebut. Para pemburu berita dan orang-orang yang sekedar ingin melihat --memenuhi area yang telah dikawal ketat oleh para polisi. Sesosok pria bertopi hitam menembus kerumunan orang-orang itu dari belakang, ia maju berdesak-desakkan hingga akhirnya mencapai tepat gerbang rumah tersebut. Dengan seenaknya ia mengangkat pita kuning tanda batas polisi dan memasuki tempat kejadian perkara, orang-orang berteriak agar ia tidak masuk --tapi salah satu petugas yang melihatnya langsung memberi hormat dan mempersilakan jalan kepadanya.
Pria bertopi hitam itu masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ruangan tempat korban ditemukan. Saat dia melangkah masuk semua petugas berhenti sejenak dan melihat kearahnya, pria bertopi cuma mengangguk sedikit dan merekapun kembali pada pekerjaannya masing-masing.
"Pak Solan?" Pria bertopi menengok saat dipanggil oleh satu petugas wanita di sana. "Ini laporannya."
Solan membaca laporan dari petugas pemeriksa TKP, walaupun hanya sekedar melihat dan membolak-baliknya dengan cepat sebelum akhirnya ia kembalikan lagi ke tangannya.
"Waktu?" Solan bertanya sambil berjalan mendekati mayat dalam keadaan duduk di sebuah kursi yang terletak tepat di belakang sebuah meja besar.
"Waktu kematian kira-kira jam 7 malam, jam 19.30 laporan masuk dan tim sampai di sini tepat pukul 19.42."
Solan memeriksa pisau berdarah yang tergeletak di lantai, tangan kanan mayat itu menggantung ke bawah --terlihat bekas darah mengalir dari sayatan lebar di tenggorokannya. Solan menatap petugas wanita tersebut dan berkata, "nama?"
"Nama korban Narto Kaolam, ayah dari dua anak--"
"Bukan, nama kamu siapa?" Solan mengibas-ngibaskan tangannya. "Saya tak pernah liat kamu di sini."
"Oh, maaf! Na, nama saya Ratih Pak." Katanya sambil menjulurkan tangannya ke depan.
"Panggil saya Solan." Solan menjabat tangan Ratih, kemudian kembali bergerak menuju belakang kursi tempat mayat terduduk. "Baiklah, sekarang --Ratih, coba kau lanjutkan laporanmu."
"Penelpon adalah istri korban yang bernama Tanti, dia mengatakan bahwa suaminya bersimpah darah dalam ruangannya dan pintu tak bisa dibuka dari luar." Ratih menjelaskan, "dia disuruh menunggu sampai polisi datang oleh operator, kami sampai 12 menit kemudian."
Solan mendengarkan sambil berjalan-jalan mengitari ruangan tersebut, terlihat semua jendela di ruangan itu diteralis besi dan satu-satunya akses masuk hanyalah satu pintu yang tadi ia masuki.
"Dua polisi yang sampai duluan ke TKP memastikan pintu memang terkunci dan tak bisa dibuka," Ratih melanjutkan. "Melihat kondisi seperti itu mereka memutuskan untuk mendobrak pintu tersebut. Begitu masuk satu polisi mengecek keadaan korban dan satu lagi berjaga di pintu untuk mencegah para saksi yang mencoba masuk ke dalam. Dengan luka sayat sebesar itu korban sudah dipastikan tak bisa tertolong lagi, pemeriksaan forensik memastikan waktu kematiannya sekitar jam 7 malam."
Solan menguap sebentar setelah mengecek keadaan gagang pintu dengan kunci ruang tersebut menggantung di bagian yang menghadap ke dalam ruangan. Posisi pintu memang terkunci, lis pintu terlihat rusak karena terkena gebrakan dari luar. "Yah, kelihatannya memang terkunci dari dalam ya. Berapa orang saksinya?"
"Tiga orang, mereka semua penghuni rumah ini. Sang istri, anak dan pembantu rumah ini. Yang menemukan korban pertama kali adalah si pembantu yang disuruh istri memanggil bapak untuk makan malam."
"Sekarang mereka ada di mana?" Solan bertanya.
"Ada, di ruangan tengah." Ratih menjawab sambil berjalan menunjukkan di mana letak ruangan itu.
Sebelum masuk Solan dihentikan oleh Ratih, "Tapi, Pak..."
"Jangan pakai Pak!"
"Eh, maaf, maksud saya Solan." Ratih mengkoreksi dirinya, "Kalau mau bertanya tolong dengan nada yang pelan, soalnya mereka masih syok karena peristiwa bunuh diri ini."
"Bunuh diri?" Solan kembali bertanya. "Itu hasil laporanmu?"
"Karena melihat keadaan tadi, pisau, jendela berteralis dan pintu yang kuncinya ada di dalam ruangan." Ratih menjelaskan, "saya bisa menyimpulkan kasus ini adalah bunuh diri."
Solan tersenyum, "coret bunuh diri dari catatanmu! Ini adalah kasus pembunuhan."
"Ha?" Ratih terbelalak.
"Pembunuhan tertutup."
Kilatan petirpun menggelegar, seakan membenarkan pernyataan Solan.
"Ah, tapi--"
Belum selesai Ratih berbicara Solan memotongnya, "kau bilang saksinya tiga orang?"
Ratih mengangguk.
"Status mereka sekarang tersangka, dan satu orang lagi."
"satu lagi?"
"Suruh seseorang panggil anak korban yang satunya, kau bilang korban itu memiliki dua anak kan?"
"Iy~ya, benar."
"Cepat panggil dia."
"Ba, baiklah." Ratih langsung berbalik dan mencari seseorang untuk memanggilnya.
Solan memasuki ruang tengah, di dalamnya dia melihat sang istri yang menangis dengan anaknya, pembantu yang juga terlihat sedih dan dua polisi yang menjaga mereka.
"Selamat malam." Solan menyapa, hanya dua polisi yang menjawab sisanya mengangguk atau tetap terisak-isak.
Tanpa buang waktu, Solan menunjukkan jarinya kepada si pembantu --menyuruhnya menghampiri dirinya. Si pembantu pelan-pelan mendekati Solan.
"Kau yang pertama menemukan korban?" Solan bertanya, "tolong ceritakan kejadiannya."
Setelah mengangguk, dengan terbata-bata si pembantu menjawab, "ta, tadi malam saya ya-yang memeriksa keadaan Bapak di ruangannya. Sekitar jam tujuh seperapat, setelah saya menyiapkan makan malam dari jam lima --saya disuruh ibu memanggil Bapak untuk ikut makan malam bersama-sama." Si pembantu menarik nafas panjang dan kemudian melanjutkan, "di depan kamarnya saya ketuk pintu dan memanggilnya berkali-kali, sampai saya panggil dengan suara keraspun beliau tidak menjawab. Saya coba buka pintunya tapi pintunya terkunci --makanya saya liat dari jendela yang tak tertutup tirai, eehhh.... tak taunya.... Bapak, su--sudd-ddah berlumuran darah....!!?!"
Solan melirik ke arah istri dan anak yang kelihatannya tambah sedih karena mendengar deruan isak si pembantu, lalu dia berpaling dan bertanya lagi. "Lalu apa yang kau lakukan setelah itu?"
"Saya berteriak kencang, sampai-sampai Ibu dan anaknya menghampiri ke ruangan Bapak." Si pembantu melanjutkan, "si anak dan Ibu melihat sosok Bapak yang mengenaskan itu dan si anak jatuh lemas --si Ibu yang juga berterak histeris tetap langsung berusaha menelpon 112, kami tak dapat berbuat apa-apa lagi...."
Solan kemudian bertanya lagi, "ada hal yang aneh tidak beberapa hari ini?"
"Hemmm..." Si pembantu terdiam lama dan berkata, "paling cuma pertengkaran Nyonya dan Bapak beberapa hari yang lalu. Saya tak tahu pasti tapi mereka ribut soal --kekurangan uang atau apalah gitu."
Solan terdiam dan memejamkan matanya sebentar, kemudian dia bilang, "baiklah. Sudah cukup, kembalilah. Sekalian tolong panggil si anak yah, terima kasih."
Setelah si pembantu bicara kepada sang anak, si anak mulai berjalan mendatangi Solan,dengan langkah goyah --ia seperti tidak kuat berjalan sendiri dan ibunya berusaha memapahnya sehingga akhirnya mereka berdua berdiri di depan Solan.
"Ibu istri dari korban ya dan ini anaknya?" Solan langsung bertanya.
"Iya." Jawab istri yang terisak-isak itu, "dan dia anak kedua kami. Yang pertama sedang keluar rumah."
"Ya, aku sudah menyuruh orang untuk memanggilnya."
"Ha?" Si istri bingung, "kalian tahu nomor hpnya? Kalian cari di mana?"
"Tenang nyonya," Solan mengangkat tangannya sambil tersenyum. "Kami ini 'kan Polisi."
Si istri langsung mengerti. Dan Solan kembali menanyai mereka.
"Apa Nyonya bersama anak anda saat si pembantu menemukan korban?"
"Ti, tidak. Saya sedang menonton tivi di ruang tamu." Sang istri menjawab, "dan dia sedang di kamar waktu kejadian itu."
Solan membungkuk dan bertanya pada si anak, "benarkah adik sedang di kamar?"
Tanpa melihat Solan, anak itu mengangguk sambil berlinang air mata.
"Dari jam berapa kalian ada di sana?" Tanya Solan.
"Sekitar jam 6." Jawab sang istri. "Tapi aku sempat pergi ke kamar untuk mengunci pintu kamarku."
"Oh, jam berapa itu?"
"Sekitar jam tujuh."
Solan mengangguk-angguk, kemudian bertanya kepada si anak, "bagaimana kalau adik?"
Si anak tidak menjawab tapi dia menunjukkan tangannya yang jari-jarinya terbuka, dengan kata lain 'jam lima'.
"Oh, anak anda yang satu lagi? Jam berapa dia keluar rumah?"
"Sama yah," sang istri coba berpikir. "saat saya mulai nonton tivi si kakak pamit untuk pergi, jadi sekitar jam enam lewat?"
"Kalau kunci rumah dan ruangan --apakah anda punya duplikatnya?" Solan bertanya lagi.
"Tentu saja."
"Siapa saja yang pegang di rumah ini?"
"Saya dan anak saya yang besar, karena dia suka pergi main malam-malam." Sang istri bicara, "tapi percuma, kalau ada kunci yang tergantung di sisi lain kita tak bisa membukanya pakai kunci ini."
Solan mengangguk-angguk, "Ya, ya. Saya tahu itu. Kalau ada kunci yang terpasang di dalam tak akan bisa sebelah luarnya di masukkan kunci lagi, apalagi dibuka."
"Lalu apa anda sempat bertengkar dengan korban sebelum ini?" Solan melanjutkan.
Sang istri tersentak, terdiam baru kemudian menjawab, "i, iya.. beberapa hari yang lalu. Tapi itu persoalan kecil layaknya suami istri... Aku hanya mengeluh soal kekurangan untuk bayar tagihan."
"Tapi--" Solan ingin melanjutkan bicara tapi sang istri memotongnya.
"Bapak juga sebelum ini bertengkar hebat dengan si Kakak, semuanya karena si Kakak minta uang sepuluh juta."
"Sepuluh juta? Untuk apa?"
"Entahlah, dia --anak itu memang senang berjudi. Pasti dia ingin membayar hutangnya!" Jawabnya keras. "Mungkin! Karena itu si Bapak sampai ingin bunuh diri seperti itu?!?"
Suasana hening walaupun sayup-sayup diluar terdengar suara hujan masih mengguyur keras, perkataan sang istri memperkeruh suasana. Solan memperhatikan para tersangka sekali lagi, dia berusaha mencari jawaban --si pelaku ada di sini dia hanya butuh satu anaknya lagi untuk datang agar semua jelas.
Solan memanggil salah satu polisi di ruangan dan membisikkan sesuatu kepadanya, hanya sepotong-sepotong terdengar. "Tolong...sst...sst. Kalau tidak...sst...sst, coba di sst...sst." Polisi yang dibisikipun menganggukan kepala tanda mengerti, kemudian langsung keluar ruangan meninggalkan Solan dan para tersangka.
Tak lama pintu diketuk lagi, kali ini Ratih yang masuk dan melaporkan bahwa anaknya yang satu lagi sudah ditemukan. Solan menyuruhnya membawa anak itu masuk ke ruangan ini, tapi saat anak itu dan Ratih sudah sampai di depan pintu.
"Yak! Berhenti di situ!" Solan menyuruh mereka berdiri tepat di depan pintu masuk ruangan ini.
Ratih yang bingung dan si Kakak, yang terlihat mukanya merah karena sedih, walau tak tahu untuk apa tetap saja mereka berdiri didepan ruangan tersebut --mengikuti perintah Solan.
"Apa-apaan sih ini!?!" Si Kakak protes kepada Solan. "Kenapa Bapak polisi memanggil aku ke sini!?!"
"Hei, tenanglah. Saya hanya ingin memperjelas kasus pembunuhan ini." Solan menenangkan.
"Kasus pembunuhan?" Si istri menimpali, "kasus apa?! Bunuh diri koq dibilang kasus pembunuhan?"
"Iya Pak Polisi." si pembantu menambahkan, "waktu itu ruangannya kan terkunci, polisi yang lain juga sudah mengeceknya. Dan ibu polisi tadi juga bilang ini kasus bunuh diri." Katanya sambil menunjuk ke arah Ratih.
"Eh.. saya juga ehh hanya melapor saja...." Ratih bingung menjawab pernyataan itu.
Solan hanya tersenyum kecil, "yah. Siapapun akan berkata kalau kasus ini merupakan kasus bunuh diri," Solan membalikkan badannya dan berkata lantang, "tapi dalam kenyataannya. Kasus ini adalah kasus pembunuhan di ruang tertutup!"
"Maksudmu?!" Si istri menjawab keras. "Suamiku dibunuh orang?!"
"Benar, dan juga tak menutup kemungkinan." Solan menambahkan. "Bahwa salah satu dari kalian, penghuni rumah ini, adalah tersangka utama pembunuh korban!"
"Solan, apa yang kau..." Ratih mencoba menghentikan pernyataan Solan yang kasar itu, tapi Solan mengangkat tangannya menyuruh diam.
"Ta, tapi atas alasan apa kau menuduh kami menjadi tersangka?!" Sang istri semakin histeris. "Itu tak adil! Walau kami sering bertengkar tapi tetap tidak cukup untuk dijadikan alasan!!"
Solan memandang tajam ke arah si istri, "Nyonya..." Dia berkata pelan tapi tegas. "Dalam penyelidikan saya, saya selalu mengesampingkan motif pelaku."
Ratih mendengarkan sambil berkata dalam hati, 'Bagaimana bisa dia tidak memperhitungkan motif si pelaku? Justru esensi dari penyelidikan adalah alasan si pelaku melakukannya.'
"Alasan-alasan yang dikemukakan seorang pembunuh akan sangat bervariasi, dalam keadaan seperti ini siapa yang tahu mana yang berbohong dan mana yang jujur?" Solan melanjutkan, "yang penting dalam caraku ialah..." Dia berjalan mendekati pintu, menunjuk pada kunci yang terpasang di pintu dan kembali berkata dengan tegas, "...rentang waktu kejadian dan cara si pelaku melakukan kejahatannya!"
"Tapi, bagaimana dengan pintu yang terkunci dari dalam?" Ratih bertanya, "bahkan kuncinya ada di bagian dalam ruangan."
"Mudah saja," Solan tersenyum. "Hanya butuh sebuah trik, trik yang amat gampang."
Solan menunjukkan ke pintu ruangan yang tergantung sebuah kunci lalu ia berkata kepada si Kakak, "kau...punya kunci duplikat kan?"
Si Kakak menjawab, "punya."
"Baiklah," kata Solan sambil menutup pintunya.
Sekarang Ratih dan si Kakak ada di luar ruangan, terdengar suara jekrek dari dalam --Solan telah mengunci pintunya.
"Sekarang coba kau masukkan kuncimu!" Teriak Solan dari dalam.
Si Kakak mengeluarkan kunci duplikatnya dari kantongnya, kemudian mencoba memasukkannya ke lubang kunci yang ada. Tapi mau dipaksa seperti apapun kuncinya tak bisa masuk dengan penuh, jadi tak bisa ia putar ke arah manapun.
"Tak bisa Pak..." Dengan nada menggerutu dia berkata, "kalau ada kunci di dalam mana bisa aku buka dari luar?"
"Baiklah." Solan melakukan sesuatu dengan kunci di bagian dalam ruangan, "sekarang coba lagi!"
Sekarang si Kakak mencoba lagi, kuncinya masuk dengan mudah dan ia pun memutarnya searah jarum jam dan membuka pintu ke dalam.
Semua yang berada di dalam ruangan tertegun, si Kakak dan Ratih mencoba mencari tahu apa yang membuat mereka terdiam. Dan saat Ratih melihat ke arah lubang kunci di sisi lain, dia melihat kalau kunci masih menggantung di sisi pintu yang lain!
"Apa?!" Ratih bertanya, "kok bisa?"
Solan tersenyum, "begini rahasianya." Solan berjalan ke arah pintu dan menunjukkan triknya, "Setiap kunci pintu memang tak bisa dimasuki dua kunci bersamaan, tapi lain halnya dengan trik ini --kita bisa melihat dari depan si Kakak bisa membuka kunci pintu walaupun di sisi lain terdapat kunci yang juga menempel. Coba, Ratih... kau perhatikan baik-baik kunci di bagian ini."
Ratih mendekat dan mencoba melihat dari dekat, dia memperhatikan sesuatu yang janggal. "I, ini!?!"
"Iya." Solan melanjutkan, "yang diperlukan dalam trik ini hanyalah dengan memposisikan kunci tegak lurus dan menarik keluar kunci yang ada di bagian dalam --sedikit saja."
Solan menunjukkan kunci yang sengaja tidak dimasukkan secara penuh di lubangnya, "hal ini menyebabkan ruang tersisa untuk dapat memasukkan kunci dan membuka ataupun menutupnya dengan mudah dari sisi lain."
"Benar juga yah." Ratih mencoba memutar-mutar kunci yang tadi Kakak pakai. "Dengan ini kita bisa mengunci pintu dengan mudah dari luar. Dan saat kita masuk ke dalam pun kita tetap melihat ada kunci menggantung di pintu bagian dalam."
"Dengan ini triknya pun sudah terbongkar," Solan berkata lagi. "Yang tersisa hanyalah pelakunya..."
"Berarti pelakunya adalah orang yang memiliki kunci duplikat rumah ini?" Ratih bertanya, "tapi itu berarti....Nyonya rumah dan si Kakak adalah tersangka utamanya!?!"
Si istri dan si Kakak terlihat kaget dan takut, hanya mereka berdua yang memiliki semua kunci duplikat di rumah ini.
"Yap." Solan tersenyum puas, "kemungkinannya sudah diperkecil dan aku tahu siapa pelakunya kalau Nyonya bisa menjawab pertanyaanku."
Si istri bergetar, "ap, apa yang mau kau tanya?"
"Aku tak perlu menanyakan pertanyaan ini kepada si Kakak karena aku sudah tahu jawabannya," Solan terdiam sebentar dan kemudian bertanya. "Apa kau membawa kunci duplikatmu sekarang?"
Si istri langsung menjawab, "tidak. Aku menaruhnya di kamar, aku tak pernah membawanya kalau aku tidak pergi keluar rumah."
"Kalau begitu masalah ini lebih gampang dari yang kukira," Solan kembali tersenyum. "Kau kembali ke kamarmu untuk menguncinya sekitar jam tujuh kan? Tepat sebelum si pembantu memeriksa kamar korban."
Si istri terisak-isak dan dengan berat ia berkata, "tapi...kalau kau pikir aku pela...."
"Bukan!" Solan menghentikan kalimat si istri. "Siapa yang bilang kalau kau pelakunya?"
"Hah?" Seluruh orang terbingung lagi dengan pernyataan Solan.
"Dengan melihat rentang waktu, trik dan kesempatan yang ada." Solan dengan tenang berbicara, "aku tahu si pelaku harus diam-diam menambil kunci duplikat dan dia belum sempatmengembalikan kunci itu ke kamar Nyonya."
Ratih terbelalak, si Kakak dan si istri pun kaget. "Berarti.....?" Semua menunjuk ke satu orang lagi.
"Ya." Solan melirik ke arah si pembantu yang sekarang penuh keringat dingin, "dialah pelakunya."
Semua melihat seakan tak percaya, lalu Solan menyuruh si polisi lain untuk menggiringnya. Tapi sebelum ia dipegang ia langsung menyentak, "Tu, tunggu dulu! Apa buktinya kalau aku pelakunya?!"
"Heh, kau mau bukti?" Solan menyeringai.
Tepat saat itu si polisi yang tadi disuruh keluar oleh Solan, sekarang sudah kembali dan berteriak. "Aku menemukannya Pak!"
Si pembantu melihat ke arah polisi itu dan melihat sebuah kantong bukti yang berisikan sebilah pisau, dan dia mulai panik.
"Sebuah pisau yang telah dicuci bersih tapi setelah dites kami menemukan bekas darah yang sesuai dengan korban." Jelas polisi itu.
"Aku yakin ini pisaumu kan?" Solan menanyakan pada si pembantu, kemudian Solan mendekatinya --merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kunci dari kantung itu. "Aha, aku yakin ini kunci duplikat ruangan tempat korban dibunuh."
Si pembantu sekarang sudah tak bisa berkata apa-apa lagi, dia menunduk lemas tak bisa melarikan diri. Kedua polisi itu sekarang memborgolnya dan mulai membawanya keluar ruangan.
"Aku harus melakukannya...." kata si pembantu itu.
"Simpan saja alasanmu itu!" Solan menatap dengan tajam, "aku tak butuh alasan dari seorang pembunuh macam kau. Aku detektif Solan. Tugasku hanyalah mengungkap kebenaran." By Iskandar F
Akhirnya saat pembunuhan tertutup itu terungkap, langitpun menghentikan tangisan kerasnya yang menggelegar sejak tadi dan menutup malam ini dengan awan cerah bersanding bulan purnama yang terang.
Gelapnya malam ini terasa membuat bulu kuduk merinding, apalagi dengan ditemani derasnya hujan yang turun. Betapa dingin dan gelapnya malam itupun tetap tak akan menghentikan niat para petugas polisi untuk melakukan tugasnya sekarang; sebuah kasus dimana sesosok mayat ditemukan dalam ruang yang terkunci rapat.
Lampu merah biru berkelap-kelip diiringi guyuran hujan deras, mobil polisi, ambulan dan kendaraan lain yang tidak berkepentingan pun ikut terparkir di luar rumah TKP tersebut. Para pemburu berita dan orang-orang yang sekedar ingin melihat --memenuhi area yang telah dikawal ketat oleh para polisi. Sesosok pria bertopi hitam menembus kerumunan orang-orang itu dari belakang, ia maju berdesak-desakkan hingga akhirnya mencapai tepat gerbang rumah tersebut. Dengan seenaknya ia mengangkat pita kuning tanda batas polisi dan memasuki tempat kejadian perkara, orang-orang berteriak agar ia tidak masuk --tapi salah satu petugas yang melihatnya langsung memberi hormat dan mempersilakan jalan kepadanya.
Pria bertopi hitam itu masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ruangan tempat korban ditemukan. Saat dia melangkah masuk semua petugas berhenti sejenak dan melihat kearahnya, pria bertopi cuma mengangguk sedikit dan merekapun kembali pada pekerjaannya masing-masing.
"Pak Solan?" Pria bertopi menengok saat dipanggil oleh satu petugas wanita di sana. "Ini laporannya."
Solan membaca laporan dari petugas pemeriksa TKP, walaupun hanya sekedar melihat dan membolak-baliknya dengan cepat sebelum akhirnya ia kembalikan lagi ke tangannya.
"Waktu?" Solan bertanya sambil berjalan mendekati mayat dalam keadaan duduk di sebuah kursi yang terletak tepat di belakang sebuah meja besar.
"Waktu kematian kira-kira jam 7 malam, jam 19.30 laporan masuk dan tim sampai di sini tepat pukul 19.42."
Solan memeriksa pisau berdarah yang tergeletak di lantai, tangan kanan mayat itu menggantung ke bawah --terlihat bekas darah mengalir dari sayatan lebar di tenggorokannya. Solan menatap petugas wanita tersebut dan berkata, "nama?"
"Nama korban Narto Kaolam, ayah dari dua anak--"
"Bukan, nama kamu siapa?" Solan mengibas-ngibaskan tangannya. "Saya tak pernah liat kamu di sini."
"Oh, maaf! Na, nama saya Ratih Pak." Katanya sambil menjulurkan tangannya ke depan.
"Panggil saya Solan." Solan menjabat tangan Ratih, kemudian kembali bergerak menuju belakang kursi tempat mayat terduduk. "Baiklah, sekarang --Ratih, coba kau lanjutkan laporanmu."
"Penelpon adalah istri korban yang bernama Tanti, dia mengatakan bahwa suaminya bersimpah darah dalam ruangannya dan pintu tak bisa dibuka dari luar." Ratih menjelaskan, "dia disuruh menunggu sampai polisi datang oleh operator, kami sampai 12 menit kemudian."
Solan mendengarkan sambil berjalan-jalan mengitari ruangan tersebut, terlihat semua jendela di ruangan itu diteralis besi dan satu-satunya akses masuk hanyalah satu pintu yang tadi ia masuki.
"Dua polisi yang sampai duluan ke TKP memastikan pintu memang terkunci dan tak bisa dibuka," Ratih melanjutkan. "Melihat kondisi seperti itu mereka memutuskan untuk mendobrak pintu tersebut. Begitu masuk satu polisi mengecek keadaan korban dan satu lagi berjaga di pintu untuk mencegah para saksi yang mencoba masuk ke dalam. Dengan luka sayat sebesar itu korban sudah dipastikan tak bisa tertolong lagi, pemeriksaan forensik memastikan waktu kematiannya sekitar jam 7 malam."
Solan menguap sebentar setelah mengecek keadaan gagang pintu dengan kunci ruang tersebut menggantung di bagian yang menghadap ke dalam ruangan. Posisi pintu memang terkunci, lis pintu terlihat rusak karena terkena gebrakan dari luar. "Yah, kelihatannya memang terkunci dari dalam ya. Berapa orang saksinya?"
"Tiga orang, mereka semua penghuni rumah ini. Sang istri, anak dan pembantu rumah ini. Yang menemukan korban pertama kali adalah si pembantu yang disuruh istri memanggil bapak untuk makan malam."
"Sekarang mereka ada di mana?" Solan bertanya.
"Ada, di ruangan tengah." Ratih menjawab sambil berjalan menunjukkan di mana letak ruangan itu.
Sebelum masuk Solan dihentikan oleh Ratih, "Tapi, Pak..."
"Jangan pakai Pak!"
"Eh, maaf, maksud saya Solan." Ratih mengkoreksi dirinya, "Kalau mau bertanya tolong dengan nada yang pelan, soalnya mereka masih syok karena peristiwa bunuh diri ini."
"Bunuh diri?" Solan kembali bertanya. "Itu hasil laporanmu?"
"Karena melihat keadaan tadi, pisau, jendela berteralis dan pintu yang kuncinya ada di dalam ruangan." Ratih menjelaskan, "saya bisa menyimpulkan kasus ini adalah bunuh diri."
Solan tersenyum, "coret bunuh diri dari catatanmu! Ini adalah kasus pembunuhan."
"Ha?" Ratih terbelalak.
"Pembunuhan tertutup."
Kilatan petirpun menggelegar, seakan membenarkan pernyataan Solan.
"Ah, tapi--"
Belum selesai Ratih berbicara Solan memotongnya, "kau bilang saksinya tiga orang?"
Ratih mengangguk.
"Status mereka sekarang tersangka, dan satu orang lagi."
"satu lagi?"
"Suruh seseorang panggil anak korban yang satunya, kau bilang korban itu memiliki dua anak kan?"
"Iy~ya, benar."
"Cepat panggil dia."
"Ba, baiklah." Ratih langsung berbalik dan mencari seseorang untuk memanggilnya.
Solan memasuki ruang tengah, di dalamnya dia melihat sang istri yang menangis dengan anaknya, pembantu yang juga terlihat sedih dan dua polisi yang menjaga mereka.
"Selamat malam." Solan menyapa, hanya dua polisi yang menjawab sisanya mengangguk atau tetap terisak-isak.
Tanpa buang waktu, Solan menunjukkan jarinya kepada si pembantu --menyuruhnya menghampiri dirinya. Si pembantu pelan-pelan mendekati Solan.
"Kau yang pertama menemukan korban?" Solan bertanya, "tolong ceritakan kejadiannya."
Setelah mengangguk, dengan terbata-bata si pembantu menjawab, "ta, tadi malam saya ya-yang memeriksa keadaan Bapak di ruangannya. Sekitar jam tujuh seperapat, setelah saya menyiapkan makan malam dari jam lima --saya disuruh ibu memanggil Bapak untuk ikut makan malam bersama-sama." Si pembantu menarik nafas panjang dan kemudian melanjutkan, "di depan kamarnya saya ketuk pintu dan memanggilnya berkali-kali, sampai saya panggil dengan suara keraspun beliau tidak menjawab. Saya coba buka pintunya tapi pintunya terkunci --makanya saya liat dari jendela yang tak tertutup tirai, eehhh.... tak taunya.... Bapak, su--sudd-ddah berlumuran darah....!!?!"
Solan melirik ke arah istri dan anak yang kelihatannya tambah sedih karena mendengar deruan isak si pembantu, lalu dia berpaling dan bertanya lagi. "Lalu apa yang kau lakukan setelah itu?"
"Saya berteriak kencang, sampai-sampai Ibu dan anaknya menghampiri ke ruangan Bapak." Si pembantu melanjutkan, "si anak dan Ibu melihat sosok Bapak yang mengenaskan itu dan si anak jatuh lemas --si Ibu yang juga berterak histeris tetap langsung berusaha menelpon 112, kami tak dapat berbuat apa-apa lagi...."
Solan kemudian bertanya lagi, "ada hal yang aneh tidak beberapa hari ini?"
"Hemmm..." Si pembantu terdiam lama dan berkata, "paling cuma pertengkaran Nyonya dan Bapak beberapa hari yang lalu. Saya tak tahu pasti tapi mereka ribut soal --kekurangan uang atau apalah gitu."
Solan terdiam dan memejamkan matanya sebentar, kemudian dia bilang, "baiklah. Sudah cukup, kembalilah. Sekalian tolong panggil si anak yah, terima kasih."
Setelah si pembantu bicara kepada sang anak, si anak mulai berjalan mendatangi Solan,dengan langkah goyah --ia seperti tidak kuat berjalan sendiri dan ibunya berusaha memapahnya sehingga akhirnya mereka berdua berdiri di depan Solan.
"Ibu istri dari korban ya dan ini anaknya?" Solan langsung bertanya.
"Iya." Jawab istri yang terisak-isak itu, "dan dia anak kedua kami. Yang pertama sedang keluar rumah."
"Ya, aku sudah menyuruh orang untuk memanggilnya."
"Ha?" Si istri bingung, "kalian tahu nomor hpnya? Kalian cari di mana?"
"Tenang nyonya," Solan mengangkat tangannya sambil tersenyum. "Kami ini 'kan Polisi."
Si istri langsung mengerti. Dan Solan kembali menanyai mereka.
"Apa Nyonya bersama anak anda saat si pembantu menemukan korban?"
"Ti, tidak. Saya sedang menonton tivi di ruang tamu." Sang istri menjawab, "dan dia sedang di kamar waktu kejadian itu."
Solan membungkuk dan bertanya pada si anak, "benarkah adik sedang di kamar?"
Tanpa melihat Solan, anak itu mengangguk sambil berlinang air mata.
"Dari jam berapa kalian ada di sana?" Tanya Solan.
"Sekitar jam 6." Jawab sang istri. "Tapi aku sempat pergi ke kamar untuk mengunci pintu kamarku."
"Oh, jam berapa itu?"
"Sekitar jam tujuh."
Solan mengangguk-angguk, kemudian bertanya kepada si anak, "bagaimana kalau adik?"
Si anak tidak menjawab tapi dia menunjukkan tangannya yang jari-jarinya terbuka, dengan kata lain 'jam lima'.
"Oh, anak anda yang satu lagi? Jam berapa dia keluar rumah?"
"Sama yah," sang istri coba berpikir. "saat saya mulai nonton tivi si kakak pamit untuk pergi, jadi sekitar jam enam lewat?"
"Kalau kunci rumah dan ruangan --apakah anda punya duplikatnya?" Solan bertanya lagi.
"Tentu saja."
"Siapa saja yang pegang di rumah ini?"
"Saya dan anak saya yang besar, karena dia suka pergi main malam-malam." Sang istri bicara, "tapi percuma, kalau ada kunci yang tergantung di sisi lain kita tak bisa membukanya pakai kunci ini."
Solan mengangguk-angguk, "Ya, ya. Saya tahu itu. Kalau ada kunci yang terpasang di dalam tak akan bisa sebelah luarnya di masukkan kunci lagi, apalagi dibuka."
"Lalu apa anda sempat bertengkar dengan korban sebelum ini?" Solan melanjutkan.
Sang istri tersentak, terdiam baru kemudian menjawab, "i, iya.. beberapa hari yang lalu. Tapi itu persoalan kecil layaknya suami istri... Aku hanya mengeluh soal kekurangan untuk bayar tagihan."
"Tapi--" Solan ingin melanjutkan bicara tapi sang istri memotongnya.
"Bapak juga sebelum ini bertengkar hebat dengan si Kakak, semuanya karena si Kakak minta uang sepuluh juta."
"Sepuluh juta? Untuk apa?"
"Entahlah, dia --anak itu memang senang berjudi. Pasti dia ingin membayar hutangnya!" Jawabnya keras. "Mungkin! Karena itu si Bapak sampai ingin bunuh diri seperti itu?!?"
Suasana hening walaupun sayup-sayup diluar terdengar suara hujan masih mengguyur keras, perkataan sang istri memperkeruh suasana. Solan memperhatikan para tersangka sekali lagi, dia berusaha mencari jawaban --si pelaku ada di sini dia hanya butuh satu anaknya lagi untuk datang agar semua jelas.
Solan memanggil salah satu polisi di ruangan dan membisikkan sesuatu kepadanya, hanya sepotong-sepotong terdengar. "Tolong...sst...sst. Kalau tidak...sst...sst, coba di sst...sst." Polisi yang dibisikipun menganggukan kepala tanda mengerti, kemudian langsung keluar ruangan meninggalkan Solan dan para tersangka.
Tak lama pintu diketuk lagi, kali ini Ratih yang masuk dan melaporkan bahwa anaknya yang satu lagi sudah ditemukan. Solan menyuruhnya membawa anak itu masuk ke ruangan ini, tapi saat anak itu dan Ratih sudah sampai di depan pintu.
"Yak! Berhenti di situ!" Solan menyuruh mereka berdiri tepat di depan pintu masuk ruangan ini.
Ratih yang bingung dan si Kakak, yang terlihat mukanya merah karena sedih, walau tak tahu untuk apa tetap saja mereka berdiri didepan ruangan tersebut --mengikuti perintah Solan.
"Apa-apaan sih ini!?!" Si Kakak protes kepada Solan. "Kenapa Bapak polisi memanggil aku ke sini!?!"
"Hei, tenanglah. Saya hanya ingin memperjelas kasus pembunuhan ini." Solan menenangkan.
"Kasus pembunuhan?" Si istri menimpali, "kasus apa?! Bunuh diri koq dibilang kasus pembunuhan?"
"Iya Pak Polisi." si pembantu menambahkan, "waktu itu ruangannya kan terkunci, polisi yang lain juga sudah mengeceknya. Dan ibu polisi tadi juga bilang ini kasus bunuh diri." Katanya sambil menunjuk ke arah Ratih.
"Eh.. saya juga ehh hanya melapor saja...." Ratih bingung menjawab pernyataan itu.
Solan hanya tersenyum kecil, "yah. Siapapun akan berkata kalau kasus ini merupakan kasus bunuh diri," Solan membalikkan badannya dan berkata lantang, "tapi dalam kenyataannya. Kasus ini adalah kasus pembunuhan di ruang tertutup!"
"Maksudmu?!" Si istri menjawab keras. "Suamiku dibunuh orang?!"
"Benar, dan juga tak menutup kemungkinan." Solan menambahkan. "Bahwa salah satu dari kalian, penghuni rumah ini, adalah tersangka utama pembunuh korban!"
"Solan, apa yang kau..." Ratih mencoba menghentikan pernyataan Solan yang kasar itu, tapi Solan mengangkat tangannya menyuruh diam.
"Ta, tapi atas alasan apa kau menuduh kami menjadi tersangka?!" Sang istri semakin histeris. "Itu tak adil! Walau kami sering bertengkar tapi tetap tidak cukup untuk dijadikan alasan!!"
Solan memandang tajam ke arah si istri, "Nyonya..." Dia berkata pelan tapi tegas. "Dalam penyelidikan saya, saya selalu mengesampingkan motif pelaku."
Ratih mendengarkan sambil berkata dalam hati, 'Bagaimana bisa dia tidak memperhitungkan motif si pelaku? Justru esensi dari penyelidikan adalah alasan si pelaku melakukannya.'
"Alasan-alasan yang dikemukakan seorang pembunuh akan sangat bervariasi, dalam keadaan seperti ini siapa yang tahu mana yang berbohong dan mana yang jujur?" Solan melanjutkan, "yang penting dalam caraku ialah..." Dia berjalan mendekati pintu, menunjuk pada kunci yang terpasang di pintu dan kembali berkata dengan tegas, "...rentang waktu kejadian dan cara si pelaku melakukan kejahatannya!"
"Tapi, bagaimana dengan pintu yang terkunci dari dalam?" Ratih bertanya, "bahkan kuncinya ada di bagian dalam ruangan."
"Mudah saja," Solan tersenyum. "Hanya butuh sebuah trik, trik yang amat gampang."
Solan menunjukkan ke pintu ruangan yang tergantung sebuah kunci lalu ia berkata kepada si Kakak, "kau...punya kunci duplikat kan?"
Si Kakak menjawab, "punya."
"Baiklah," kata Solan sambil menutup pintunya.
Sekarang Ratih dan si Kakak ada di luar ruangan, terdengar suara jekrek dari dalam --Solan telah mengunci pintunya.
"Sekarang coba kau masukkan kuncimu!" Teriak Solan dari dalam.
Si Kakak mengeluarkan kunci duplikatnya dari kantongnya, kemudian mencoba memasukkannya ke lubang kunci yang ada. Tapi mau dipaksa seperti apapun kuncinya tak bisa masuk dengan penuh, jadi tak bisa ia putar ke arah manapun.
"Tak bisa Pak..." Dengan nada menggerutu dia berkata, "kalau ada kunci di dalam mana bisa aku buka dari luar?"
"Baiklah." Solan melakukan sesuatu dengan kunci di bagian dalam ruangan, "sekarang coba lagi!"
Sekarang si Kakak mencoba lagi, kuncinya masuk dengan mudah dan ia pun memutarnya searah jarum jam dan membuka pintu ke dalam.
Semua yang berada di dalam ruangan tertegun, si Kakak dan Ratih mencoba mencari tahu apa yang membuat mereka terdiam. Dan saat Ratih melihat ke arah lubang kunci di sisi lain, dia melihat kalau kunci masih menggantung di sisi pintu yang lain!
"Apa?!" Ratih bertanya, "kok bisa?"
Solan tersenyum, "begini rahasianya." Solan berjalan ke arah pintu dan menunjukkan triknya, "Setiap kunci pintu memang tak bisa dimasuki dua kunci bersamaan, tapi lain halnya dengan trik ini --kita bisa melihat dari depan si Kakak bisa membuka kunci pintu walaupun di sisi lain terdapat kunci yang juga menempel. Coba, Ratih... kau perhatikan baik-baik kunci di bagian ini."
Ratih mendekat dan mencoba melihat dari dekat, dia memperhatikan sesuatu yang janggal. "I, ini!?!"
"Iya." Solan melanjutkan, "yang diperlukan dalam trik ini hanyalah dengan memposisikan kunci tegak lurus dan menarik keluar kunci yang ada di bagian dalam --sedikit saja."
Solan menunjukkan kunci yang sengaja tidak dimasukkan secara penuh di lubangnya, "hal ini menyebabkan ruang tersisa untuk dapat memasukkan kunci dan membuka ataupun menutupnya dengan mudah dari sisi lain."
"Benar juga yah." Ratih mencoba memutar-mutar kunci yang tadi Kakak pakai. "Dengan ini kita bisa mengunci pintu dengan mudah dari luar. Dan saat kita masuk ke dalam pun kita tetap melihat ada kunci menggantung di pintu bagian dalam."
"Dengan ini triknya pun sudah terbongkar," Solan berkata lagi. "Yang tersisa hanyalah pelakunya..."
"Berarti pelakunya adalah orang yang memiliki kunci duplikat rumah ini?" Ratih bertanya, "tapi itu berarti....Nyonya rumah dan si Kakak adalah tersangka utamanya!?!"
Si istri dan si Kakak terlihat kaget dan takut, hanya mereka berdua yang memiliki semua kunci duplikat di rumah ini.
"Yap." Solan tersenyum puas, "kemungkinannya sudah diperkecil dan aku tahu siapa pelakunya kalau Nyonya bisa menjawab pertanyaanku."
Si istri bergetar, "ap, apa yang mau kau tanya?"
"Aku tak perlu menanyakan pertanyaan ini kepada si Kakak karena aku sudah tahu jawabannya," Solan terdiam sebentar dan kemudian bertanya. "Apa kau membawa kunci duplikatmu sekarang?"
Si istri langsung menjawab, "tidak. Aku menaruhnya di kamar, aku tak pernah membawanya kalau aku tidak pergi keluar rumah."
"Kalau begitu masalah ini lebih gampang dari yang kukira," Solan kembali tersenyum. "Kau kembali ke kamarmu untuk menguncinya sekitar jam tujuh kan? Tepat sebelum si pembantu memeriksa kamar korban."
Si istri terisak-isak dan dengan berat ia berkata, "tapi...kalau kau pikir aku pela...."
"Bukan!" Solan menghentikan kalimat si istri. "Siapa yang bilang kalau kau pelakunya?"
"Hah?" Seluruh orang terbingung lagi dengan pernyataan Solan.
"Dengan melihat rentang waktu, trik dan kesempatan yang ada." Solan dengan tenang berbicara, "aku tahu si pelaku harus diam-diam menambil kunci duplikat dan dia belum sempatmengembalikan kunci itu ke kamar Nyonya."
Ratih terbelalak, si Kakak dan si istri pun kaget. "Berarti.....?" Semua menunjuk ke satu orang lagi.
"Ya." Solan melirik ke arah si pembantu yang sekarang penuh keringat dingin, "dialah pelakunya."
Semua melihat seakan tak percaya, lalu Solan menyuruh si polisi lain untuk menggiringnya. Tapi sebelum ia dipegang ia langsung menyentak, "Tu, tunggu dulu! Apa buktinya kalau aku pelakunya?!"
"Heh, kau mau bukti?" Solan menyeringai.
Tepat saat itu si polisi yang tadi disuruh keluar oleh Solan, sekarang sudah kembali dan berteriak. "Aku menemukannya Pak!"
Si pembantu melihat ke arah polisi itu dan melihat sebuah kantong bukti yang berisikan sebilah pisau, dan dia mulai panik.
"Sebuah pisau yang telah dicuci bersih tapi setelah dites kami menemukan bekas darah yang sesuai dengan korban." Jelas polisi itu.
"Aku yakin ini pisaumu kan?" Solan menanyakan pada si pembantu, kemudian Solan mendekatinya --merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kunci dari kantung itu. "Aha, aku yakin ini kunci duplikat ruangan tempat korban dibunuh."
Si pembantu sekarang sudah tak bisa berkata apa-apa lagi, dia menunduk lemas tak bisa melarikan diri. Kedua polisi itu sekarang memborgolnya dan mulai membawanya keluar ruangan.
"Aku harus melakukannya...." kata si pembantu itu.
"Simpan saja alasanmu itu!" Solan menatap dengan tajam, "aku tak butuh alasan dari seorang pembunuh macam kau. Aku detektif Solan. Tugasku hanyalah mengungkap kebenaran." By Iskandar F
Akhirnya saat pembunuhan tertutup itu terungkap, langitpun menghentikan tangisan kerasnya yang menggelegar sejak tadi dan menutup malam ini dengan awan cerah bersanding bulan purnama yang terang.
Wah keren! Cukup membuat suasana tegang dan penasaran! Hebat! Karakter Detektif Solan-nya juga udah berasa.
BalasHapus*biarpun gue masih gak ngerti cara kerja si kunci... mesti dicobain kali yah*
Thanks ya :)
BalasHapusYak cobain ajah gampang koq....
Tinggal masukkin dari dua sisi, yang satu full masuknya satu lagi gak usah, tergantung dari mana mau diputernya...
Hehehe keren... gw baru tau trik kunci itu...
BalasHapus