Minggu, 12 Desember 2010

Monster Itu Teman (part 2)

By Egan_version1


'Tak ada manusia yang bisa melihat sosok monster ini, kecuali jika ajalnya sudah tiba.' Entah kenapa, kata-kata itu sekarang terngiang-ngiang di kepalaku.
Rika bergeser mendekat sampai pundak kanannya menyentuh lengan kiriku, sambil berbisik ketakutan dia berkata, "kita bisa melihatnya..."
Aku hanya diam --tentu saja Rika juga pernah mendengarnya-- cerita tentang monster ini, yang hanya akan memperlihatkan wujudnya pada saat-saat terakhir sebelum ia mencabik habis mangsanya --mangsanya, dengan kata lain, kami berdua.
Sosok besar itu mendengus pelan dan panjang, matanya tidak berkedip sekalipun saat menatap kami. Mata merahnya terlihat jelas walaupun aku tak bisa melihat raut mukanya karena tertutup semacam helm zirah berwarna hitam yang bentuknya sudah tak karuan. Hampir seluruh tubuhnya tertutupi baju zirah penuh dengan noda bercak darah yang menghitam. Tubuh bungkuknya memang aneh, tapi yang lebih aneh lagi adalah tangan kirinya --dari pangkal lengan ke ujung tangan ukurannya semakin lama semakin membesar dan panjangnya hampir setinggi tubuhnya sendiri, sehingga membuat tangan kirinya itu menggantung terseret-seret di lantai. Di tangan dan jari-jemarinya terlihat banyak --seperti-- paku-paku besar yang mencuat keluar tak beraturan, mungkin inilah yang ia pakai untuk melukai korbannya.
"Jangan panik," kataku sambil menengok ke arah Rika. "Kita masih bisa keluar melalui pintu yang sama."
"Tapi...Bagaimana kita bisa melewatinya?" Kata Rika sambil melihat ke arah Teman.
"Ya, itu--!?!" Sebelum aku menyelesaikan kata-kataku, Teman tiba-tiba meraung keras --raungannya memenuhi ruangan dan sangat menyakiti telinga.
Rika menutup telinganya dengan kedua tangan sekuat tenaga. Aku juga berusaha menutupi kupingku, tapi sebelah tanganku tetap memegang buku Kelahiran Teman, sehingga raungannya tetap terasa menyakitkan.
Aku kesakitan sampai-sampai aku berlutut dengan satu kakiku dan saat aku menengok ke arah Teman aku memperhatikannya melangkah maju dengan kaki kanannya. Tangan kirinya yang besar itu mulai digerakkan maju, terseret di lantai batu, terdengar bunyi ceklik! Tangannya berhenti bergerak, kelihatannya tersangkut di lantai batu.
'Paku-paku itu ternyata mengganggu gerakannya,' pikirku.
Tapi ternyata, Teman sengaja mencengkeram lantai batu itu dengan tangan durinya. Dengan satu gerakan ia mengayunkan tangan kirinya ke udara dan melemparkan pecahan lantai batu yang besar ke arahku!
Batu itu berguling dan melompat di saat yang sama aku lompat menghindar ke arah kiri, aku terjatuh di dekat kaki Rika dan batu besar itu hancur berserakan saat menabrak dinding batu.
"Hah?" Aku terbengong sambil berkata dengan bodohnya, "ternyata tangannya itu bisa bergerak?!"
"Sudah jelas kan." Rika menggerutu sambil membantuku berdiri. "Apa kau pikir itu cuma untuk hiasan?"
"Yah, paling tidak kita tahu sekarang." Aku mencoba bersikap positif, "kita harus menjauhi tangan itu kalau mau selamat."
"Kita bisa melihatnya..." Rika mengulang kembali pernyataan itu, aku berpikir Rika masih tak bisa mengalahkan rasa takutnya.
"Iya, tapi kau jangan terpengaruh dengan cerita itu." Aku mencoba menenangkannya, "Tak ada yang bisa melihat monster ini, kecuali ajalnya sudah tiba. Belum tentu ini benar, kita--"
"Tidak!" Rika menghentikan perkataanku, ekspresi wajahnya berubah serius. "Kita bisa melihatnya..."
Rika mengambil pecahan batu di dekatnya dan melemparnya ke arah Teman. Tang! Tepat terkena helm Teman, dengan pelan Teman menoleh ke arah Rika dan dia menggeram marah --aku bisa melihat dari matanya yang semakin merah membara. Dengan cepat dia mengangkat tangan kirinya yang berduri itu ke atas dan langsung menjatuhkannya ke arah kami.
Rika dan aku melompat menghindar ke arah yang berlawanan, lantai batu yang kami pijak tadi sekarang hancur berantakan oleh tangan Teman.
"Hey! Apa yang kau lakukan sih?!" Aku bingung dengan apa yang barusan terjadi, "Kenapa kau lempar batu itu!?!"
"...Dan batu itu ternyata bisa menghantamnya," Rika tersenyum kecil sambil menjawab datar, aku bisa melihat pancaran ketakutan dari matanya seakan sudah hilang sekarang. "Kita bisa melawannya Izal! Sama seperti monster yang lainnya!"
'Haa....kenapa tiba-tiba dia jadi bersemangat begini?' Aku berpikir sejenak dan menyadari sesuatu: Aku terlalu fokus pada fakta bahwa makhluk ini dibuat oleh seseorang, bukannya fokus pada cara untuk mengalahkannya.
"Kau benar, kenapa aku jadi kaku begini?" Sambil berbicara ke arah Rika, aku memperhatikan tangan penuh duri dan serpihan batu di lantai di lantai yang hancur itu mulai ditarik pelan-pelan oleh Teman. Buku Kelahiran Teman kupegang erat dengan tangan kananku, "Tak peduli buatan atau bukan, dia tetap monster yang harus dibasmi."
Teman kembali mengambil posisi untuk menyerang, dia satu langkah mendekat ke arahku, tangan kirinya siap diayunkan. Kali ini dia mengayunkan tangannya tepat ke samping badanku, satu gerakan horizontal yang membuatku terpaksa menjatuhkan diri ke lantai --lagi.
Tapi tangan berduri itu tidak diam setelah melewatiku, setelah berhenti karena menabrak lantai, Teman langsung mengayunkan kembali senjata mematikannya ke arahku. Saat tangannya melambung tepat di atasku, kontan saja aku langsung berguling untuk menghindar. Pecahan batu lantai beterbangan saat dihantam oleh tangan Teman yang berduri.
Di saat aku menarik nafas aku melihat Rika mencoba berlari ke arah pintu keluar, sayang, Teman juga menyadarinya dan langsung mengayunkan tangan kirinya ke arah Rika.
"AWAAAS!!!" Aku berteriak.
Dengan refleks yang cepat Rika memantapkan langkah kakinya, melirik sedikit ke arah tangan besar yang akan menghantamnya...lalu melompat sekuat tenaga dan menghindari jangkauan tangan berduri yang mengerikan itu.
Karena aku melihat kesempatan saat teman sedang mengarahkan perhatiannya kepada Rika, aku langsung bangun dan berlari menerjang Teman. Aku melompat ke punggungnya yang lebar itu, tak tahu apa yang ingin kulakukan, tapi dengan satu tangan aku tetap berpegangan erat pada bagian belakang zirah hitamnya.
Teman tersentak, dia meraung dan meronta-ronta karena ada sesuatu di punggungnya. Dia mencoba meraihku dengan tangan kanannya tapi tak bisa.
"Izaaal!?! Hati-hati!" Rika berteriak, tapi tak bisa melakukan apa-apa, ini giliranku menunjukkan kekuatanku kepada Teman.
Buku yang berada di tangan kananku --karena aku melihat ada celah terbuka diantara helm dan zirah Teman-- tanpa pikir panjang langsung aku masukkan dengan paksa di antara zirah dan punggung monster tersebut. Sempit, tapi di tengah-tengah rontaan Teman aku tetap memaksakannya masuk, kupaksakan sampai kulit Teman yang hitam dan kering
terkelupas. Akhirnya setelah buku itu sudah tertambat dengan keras di punggungnya, aku merasakan si Teman menarik tangan kirinya ke belakang --ini tandanya dia akan menyerangku.
"Oh, aku tahu gerakan itu!" Aku berteriak sambil memegang bagian belakang zirah Teman dengan kedua tangan, lalu sekuat tenaga aku menapakkan kakiku ke punggungnya --mengambil ancang-ancang untuk melompat.
Tangan kiri Teman mulai mengangkat dan berayun kencang --sangat kencang-- searah jarum jam menuju ke arahku.
'INI DIA!' Teriakku dalam hati sambil menarik badanku ke atas.
Aku melompat dengan memijakkan kaki ke punggung kemudian kepala Teman, "Satu! Dua! Hiaaaaaa....!!!" Sambil berteriak kencang aku melayang menjauh dari Tangan berduri yang mengayun padaku, sebelum mencapai tanah aku melihat ke belakang pundakku.
Yang terjadi adalah sesuai dengan yang kuharapkan, tangan Teman yang panjang itu berayun menuju punggungnya sendiri dan menggebrak belakang zirahnya dengan kencang.
Erangan kesakitan Teman menggelegar keras, badannya mulai terhuyung-huyung --dia terjatuh dengan lutut kirinya sebelum akhirnya tersungkur keras ke lantai. Terjatuhnya Teman yang besar itu menyebabkan lantai bergetar dan suara menggema bagaikan sebuah gempa bumi.
"Makan senjatamu sendiri, Teman." Aku berkata sambil menatap ke arah Teman.
Teman hanya meronta-ronta kesakitan di lantai batu, Tangan kirinya yang panjang itu mengitari badan dan menancap di punggung. Aku melihat semacam cairan merah pekat mengalir keluar dari luka di punggungnya. Dia meraung pelan dengan penuh kesakitan, aku hampir merasa iba --jika saja aku tak tahu sudah berapa banyak korban yang sudah dia cabik-cabik sampai mati.
Aku berpikir untuk menyelesaikannya sampai tuntas, tapi Rika memegang tanganku dan menarikku ke arah pintu keluar. Aku melihat ke wajah Rika, aku memandangnya dengan wajah yang berkata; 'Aku harus menghabisinya.'
Rika menggeleng tidak setuju, "mari kita pulang saja."
Aku menatap ke arah Teman yang kelihatannya sudah tidak berdaya, lalu langsung berbalik dan meninggalkannya sendiri.
Aku dan Rika sudah menyelesaikan tugas kami: mencari monster pencabik yang tak terlihat. Dalam hal ini monster pencabik tak terlihat itu bernama Teman. Jadi kami telah selesai mencari Teman. Waktunya kami meninggalkan Teman.
Seiring kami melangkah aku sesekali melihat ke belakang, semakin lama berjalan sosok Teman semakin menghilang --sampai kami terus berjalan ke ujung pintu keluar Temanpun sudah hilang dalam kegelapan .
Kami mencapai pintu keluar dan kamipun telah meninggalkan Teman.


Tamat
By Egan_version1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar